Hadis ke-15:
وَعَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ: كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ، ثُمَّ تُنْتَجُ الَّتِي فِي بَطْنِهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Juga dari Ibn ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang jual beli Habal al-Habalah. Itu adalah jual beli yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliah, yaitu seseorang membeli unta yang akan dibayar nanti apabila ia melahirkan, kemudian anak yang di dalam perut itu juga melahirkan. [Muttafaq ‘alaih, dan ini adalah redaksi al-Bukhari.]
Keterangan tentang Riwayat dan Dokumentasi Hadis:
Hadis Ibn ‘Umar tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2143, Muslim dalam Shahih-nya no. 1514, dan lain-lain.
Faidah dan Penjelasan Matan Hadis:
Hadis di atas membahas tentang sebagian muamalah pada masa lalu, yang pada saat ini tampaknya sudah punah, yaitu tentang traksaksi bernama Habal al-Habalah yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliah. Kata habal bermakna kehamilan, sedangkan habalah bermakna hawamil (plural, bentuk singularnya: hamil, betina yang sedang hamil).[1]
Yang dimaksud dengan Habal al-Habalah sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas adalah seorang membeli unta betina yang pembayarannya ditangguhkan sehingga ia melahirkan anak unta betina kemudian ditunggu sampai anak unta betina itu melahirkan.
Terdapat perbedaan pendapat apakah penafsiran di atas itu dari ucapan Ibn ‘Umar ataukah dari Nafi’ (perawi dari Ibn ‘Umar). Ash-Shan’ani tampaknya lebih cenderung bahwa itu adalah penafsiran oleh Nafi’.[2]
Transaksi Habal al-Habalah tersebut haram karena terjadi gharar (ketidakjelasan) dalam waktu pembayaran. Ada pula sebagian ulama yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah jual beli terhadap anak dari anak dalam kandungan hewan (nataj an-nataj), yang jika demikian maka tingkat keharamannya justru lebih parah, karena juga terjadi ketidakjelasan dalam waktu pembayaran dan bahkan objek yang diperjualbelikan mungkin tidak terwujud.[3]
Allahu a’lam.
Footnote:
[1] Lihat: Fath Dzil Jalal wal-Ikram, vol. III, hlm. 533.
[2] Subul as-Salam, vol. V, hlm. 40.
[3] Lihat: Taudhih al-Ahkam, vol. IV, hlm. 262.