Berbicara mengenai transaksi jual beli, pelaku transaksi antara penjual dan pembeli yaitu mereka yang bertransaksi penting untuk memenuhi kriteria syariat. Hal ini untuk menunjukkan bahwasannya mereka legal dalam kacamata fiqih dalam melakukan transaksi jual beli. Pada bahasan kali ini mengenai hukum memberi uang jajan pada anak, boleh atau tidak? Simak ulasannya hingga tuntas!
Dalam ilmu fiqih, sebagai pelaku transaksi pun harus memenuhi kriteria tertentu, tidak bisa sembarang orang.
Mengapa demikian? Karena nanti bisa menyebabkan terjadinya sengketa di kemudian hari. Atau terjadinya mispersepsi terhadap akad yang dilakukan.
Maka dari itu, perlu adanya legitimasi dari syariat bagaimana kriteria yang dituntut agar seseorang itu diperbolehkan untuk melakukan transaksi.
Sumber tulisan ini diambil dari KASENSOR (Kajian Senin Sore) yang merupakan salah satu program kajian di Evermos setiap minggunya. Topik tentang Fiqih Muamalah ini disampaikan oleh ustadz Rayk Manggala Syah Putra.
Berikut penulis sajikan informasi ini dengan terstruktur.
Sebelum menjawab hukum memberi uang jajan untuk anak, ketahui terlebih dahulu kriteria pelaku akad.
Daftar Isi:
ToggleKriteria Pelaku Akad
Ustadz Rayk menjelaskan dalam sumber yang dikutip dari Prof. Dr. Yusuf Subaily, bahwa orang yang diperbolehkan melakukan akad adalah:
- Baligh : Sudah masuk pada tahap kematangan biologis
- Berakal : Ia memiliki kewarasan, kemampuan untuk melakukan serangkaian tindakan di dunia.
- Rasyid : Kedewasaan, kecakapan, kemampuan dalam melakukan transaksi atau tindakan.
Poin ke 3 (rasyid) ini merupakan penentu dalam transaksi, karena apabila ada seseorang yang hanya baligh dan berakal saja tetapi tidak memiliki kriteria rasyid. Maka,transaksi yang dilakukan belum sah.
Misalnya, ada seseorang yang suka boros, mubadzir atau menghambur-hamburkan uang. Hal tersebut bisa saja dilarang dalam kacamata fiqih. Karena mereka ini tidak rasyid atau memiliki kecakapan dalam melakukan tindakan bertransaksi.
Maka akad yang dilakukan oleh anak dibawah umur, orang gila atau tunagrahita, tidak sah kecuali dengan seizin walinya.
Dari penjelasan 3 poin tersebut sebetulnya sedikit sudah terjawab, bagaimana hukum memberi uang jajan pada anak, apakah boleh?
Ustadz Rayk menjelaskan bahwa sah atau tidaknya mereka melakukan transaksi jual beli sangat bergantung dari izin walinya.
Jadi, jika walinya mengizinkan anak tersebut untuk melakukan transaksi, maka diperbolehkan.
Sebagai contoh ada sebuah kasus, seorang anak yang ingin membeli mainan tentu saja perlu ada izin dari wali atau orang tuanya.
Sebagai seorang pedagang juga perlu memastikan dan memahami bahwa anak kecil yang dibawah umur itu tidak memenuhi kriteria untuk bertransaksi jual beli dan tidak sah kecuali dengan seizin walinya.
Bagi pedagang yang telah memahami hal ini, maka harus memastikan untuk meminta si anak kecil tersebut menanyakan pada wali atau orang tuanya, apakah boleh atau tidak untuk membeli barang/produknya?
Jadi, dalam hal ini ketika akan melakukan transaksi jual beli lihat juga dari kecakapan lawan transaksi kita seperti apa.
Nah, mengapa harus ada kriteria seperti demikian? Simak dalil di bawah ini:
Larangan Menyerahkan Harta
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisaa : 5)
Pada ayat tersebut, dijelaskan pada wali ini maksudnya termasuk orang tua yang diamanahi untuk menjaga atau mengelola harta. Agar ketika sudah baligh, sudah cukup berakal dan sudah cukup bercakap, sehingga seorang anak cukup mampu untuk mengelolanya.
Dalam hal ini, anak yang tidak memenuhi kriteria untuk bertransaksi, maka belum bisa diamanahi untuk mengelola harta.
Untuk mengetahui lebih detail tentang materi ini, mari simak cuplikan video berikut ini yang disampaikan oleh Ustadz Rayk Manggala.
Uji Kecerdasan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisaa : 6)
Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan untuk para wali termasuk orang tua dari anak yang diamanahi berupa harta, uji terlebih dahulu kecerdasannya, bisa dengan mengamanahi sebagian harta yang menjadi hak orang tersebut.
Jadi, dalam pengujian ini ada proses pendidikan terlebih dahulu, agar tidak tertipu di kemudian hari. Selain itu, agar kematangan berfikirnya dapat terbentuk.
Untuk para orang tua, bisa memperbolehkan anaknya untuk melakukan jualan kecil-kecilan untuk menguji kecerdasannya, apakah sudah layak diamanahi harta ataukah belum.
Seseorang dapat melakukan transaksi jual beli apabila mereka memenuhi kriteria-kriteria. Untuk pengecualian yaitu anak kecil.
Akan tetapi, menurut Prof. Dr. Yusuf Subaily menjelaskan bahwa anak kecil dikecualikan dari hukum di atas dengan syarat nilai transaksi bernilai rendah.
Contoh: Kembang gula ataupun snack-snack jajanan lainnya.
Anak-anak yang diamanahi sejumlah harta atau uang walaupun nilainya rendah, maka sebaiknya diberikan kepada anak yang sudah pada usia mumayiz.
Atau menurut para ahli fiqih, paling tidak usia mumayiz ini sekitar umur 7 tahun. Barulah pada umur segitu boleh diberikan uang jajan.
Karena anak dengan usia tersebut sudah memiliki kematangan atau mempertimbangkan mana yang maslahat atau yang mudharat bagi dirinya.
Berikut ini kriteria anak mumayiz, ada yang menyebutkan usianya 7 tahun, akan tetapi ustadz Rayk mengutip salah satu pendapat dari sebagian kalangan fuqoha mengatakan:
Sederhananya jika kita ingin mengetahui sang anak sudah mumayiz ataukah belum, lihatlah dari sisi kebiasaannya. Apakah sang anak malu, apabila auratnya terbuka?
Jika iya, maka sang anak tersebut sudah dikatakan mumayiz, artinya sang anak mampu diamanahi harta yang kecil dan layak untuk melakukan transaksi seumuran mereka.
Catatan:
Perlu menjadi perhatian juga untuk para orang tua dalam hal memberikan fasilitas kepada anak-anak, apakah sang anak sudah cukup mumayiz atau belum.
Apalagi jika orang tua terbiasa memberikan fasilitas yang mewah, maka akan menyebabkan mental yang kurang kuat pada anak.
Selain itu, perlu menjadi catatan juga bagi para orang tua mengenai objek transaksi yang umum oleh anak-anak.
Orang tua tidak boleh mengamanahi anak-anak untuk membeli sesuatu atas dasar untuk memenuhi kebutuhan orang tua. Misalnya menyuruh membeli alat kontrasepsi. Walaupun misalnya harganya terbilang rendah. Maka, hukumnya tidak boleh.
Anak-anak itu hanya boleh melakukan transaksi jual beli yang memang objeknya terbiasa anak-anak tersebut .
Jadi, tidak hanya sekedar harganya yang rendah, tetapi juga objeknya transaksinya.
Maka dari itu, sangat berhati-hatilah dalam mengamanahi uang jajan untuk anak.
Bagaimana Kasusnya pada Momen Idul Fitri yang seringkali anak mendapatkan uang (salam tempel)?
Dalam hal ini, seorang wali boleh mengamankan harta atau uang tersebut sampai seorang anak sudah baligh, berakal dan rasyid.
Atau minimal sampai anak tersebut sudah dikatakan mumayiz, sudah mengerti akan angka-angka dan mengerti akan transaksi jual beli yang sudah layak dirinya lakukan.
Jadi, bukan diamankan dalam rangka dipakai dulu oleh wali atau orang tuanya.
Apabila seseorang sudah memenuhi kriteria untuk melakukan transaksi jual beli dalam hal ini seorang anak, maka harta yang dititipkan pada orangtua tersebut harus dikembalikan, karena harta atau uang tersebut merupakan hak anak.
Berapa jumlah uang jajan untuk anak?
Besarannya dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku dengan masyarakat sekitar, sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi:
العادة محكمة
“Adat (kebiasaan) bisa menjadi acuan hukum.”
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa uang jajan yang diberikan dari orang tua kepada anaknya hukumnya boleh.
Bila orang tua telah memenuhi kebutuhan pokok sang anak, maka uang jajan yang diberikan sebagai tambahan dapat disamakan dengan hibah/hadiah yang mana ini hukumnya sunnah.
Tetapi baik orang tua/wali tetap memperhatikan kelayakan sang anak dalam membelanjakan hartanya sebagaimana pembahasan diatas.
Dengan memperhatikan besaran nominal uang jajan dan obyek transaksi yang dibelajakan sang anak disesuaikan dengan usia anak tersebut.
Wallahu a’lam – Barakallahu Fiikum.
Demikianlah informasi mengenai Fikih Muamalah dengan judul hukum memberikan uang jajan untuk anak yang dapat kita ketahui bersama.
Semoga informasi ini dapat bermanfaat, semoga untuk para orang tua dapat lebih bijak lagi dalam mendidik seorang anak dalam hal ini.
Boleh share artikel ini dalam rangka untuk saling mengingatkan satu sama lain dalam kebaikan.
Jangan lewatkan artikel Kasensor lainnya pada situs Blog Evermos