Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (017) – Larangan Jual-Beli dengan Cara Melempar Batu dan Gharar

Hadis ke-17: 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu), beliau berkata, “Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar.” [Riwayat Muslim]

 

Sumber foto ilustrasi: pexels.com

Autentikasi Riwayat:

Hadis ini adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 1513, dan lain-lain.

Penjelasan dan Faidah Hadis:

Hadis ini memuat larangan terhadap dua hal, yaitu jual-beli dengan cara melempar batu dan gharar. Larangan di sini berkonsekuensi pengharaman dan akadnya tidak sah.[1]

Sejatinya jual-beli dengan cara melempar batu itu termasuk dalam gharar (yang nanti akan dijelaskan). Penyebutannya di sini sejalan dengan model narasi penyebutan hal khusus sebelum hal umum, dalam rangka penegasan, mengingat hal tersebut dilakukan oleh masyarakat jahiliah.

Ada beberapa penafsiran tentang yang dimaksud dengan jual-beli dengan cara melempar batu, di antaranya: Pertama: penjual berkata, “Lemparlah batu ini, maka barang yang terkena batu tersebut akan menjadi milikmu dengan harga satu dirham.” Kedua: penjual berkata, “Saya menjual tanah ini kepadamu sejauh lemparan batu yang kamu lakukan.”[2] Kedua bentuk ini termasuk jual-beli yang dilarang dalam Islam, sebagaimana hadis di atas.

Adapun gharar, maka maknanya secara bahasa adalah tipuan (khida’)[3] dan risiko (khathar). Adapun secara istilah maka dimaksudkan hal yang tidak diketahui akibatnya (majhul ‘aqibah, jahalah),[4] baik oleh penjual maupun pembeli (unknown to both parties). Bisa dikatakan bahwa definisi gharar dari para ulama seluruhnya berkisar pada makna ketidaktahuan tersebut.

Ibnul Qayyim, misalnya, mendefinisikan gharar dengan ma lam yu’lam hushuluhu, au la yuqdar ‘ala taslimihi, au la tu’raf haqiqatuhu wa miqdaruhu (sesuatu yang tidak diketahui apakah bisa diperoleh atau tidak, atau tidak mampu diserahterimakan, atau tidak diketahui hakikat dan kadarnya).[5]

Larangan terhadap gharar merupakan salah satu prinsip esensial dalam fikih muamalah, yang memiliki turunan contoh yang banyak.[6]

Salah satu contoh gharar adalah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu jual-beli dengan cara melempar batu, yang pada kasus tersebut, baik penjual maupun pembeli sama-sama tidak mengetahui secara pasti bagaimana hasil lemparan baru yang dilakukan.

Contoh lainnya adalah jual-beli terhadap kendaraan yang hilang, burung di udara, dan yang semisalnya.

Pada prinsipnya gharar itu terlarang, sebagaimana telah disebutkan.

Namun, gharar itu terbagi menjadi dua: ringan (yasir) dan berat (fahisy). Larangan dalam teks-teks hadis lebih tertuju pada gharar yang berat. Adapun gharar yang ringan, yang tidak mungkin terhindarkan dalam transaksi yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka ditolerir dan termaafkan.

Di antara contoh gharar yang ringan, misalnya pada jual-beli rumah, yang baik pembeli maupun penjual sama-sama tidak tahu bagaimana kondisi pondasi rumah tersebut.

Allahu a’lam.

 

Footnote:

[1]  Lihat: I’lam al-Anam, vol. II, hlm. 614 dan Taudhih al-Ahkam, vol. IV, hlm. 265.

[2]  Lihat: Subul as-Salam, vol. V, hlm. 42-43.

[3]  LIhat: Lisan al-‘Arab, vol. V, hlm. 11-12.

[4]  Lihat: Taudhih al-Ahkam, vol. IV, hlm. 265.

[5]  Lihat: Zad al-Ma’ad, vol. V, hlm. 725.

[6]  Imam an-Nawawi berkata,

النَّهْيُ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ فَهُوَ أَصْلٌ عَظِيمٌ مِنْ أُصُولِ كِتَابِ الْبُيُوعِ وَلِهَذَا قَدَّمَهُ مُسْلِمٌ وَيَدْخُلُ فِيهِ مَسَائِلُ كَثِيرَةٌ غَيْرُ مُنْحَصِرَةٍ

“Larangan jual-beli gharar merupakan salah satu prinsip yang esensial dari pokok-pokok prinsip pembahasan jual-beli. Oleh karena itu, penyebutannya dikedepankan oleh Imam Muslim. Banyak sekali kasus, yang bahkan tidak terbatas, yang termasuk dalam jual-beli gharar.” Ref.: Syarh Shahih Muslim, karya an-Nawawi, vol. X, hlm. 156.