Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (021) – Uang Muka Transaksi

fikih muamalah jual beli syariah

Hadis ke-21: 

وَعَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ. رَوَاهُ مَالِكٌ، قَالَ: بَلَغَنِي عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ بِهِ

Masih dari riwayat ‘Amr bin Syu’aib, dari kakeknya, beliau berkata, “Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang jual-beli ‘urban (dengan persekot, uang muka).” [Riwayat Malik, beliau berkata, “Riwayat itu sampai kepadaku dari ‘Amr bin Syu’aib.”]

fikih muamalah jual beli syariah
Source: pexels.com

 

Autentikasi Riwayat:

Syaikh Mahir al-Fahl menilai hadisnya lemah karena adanya jahalah (ketidakjelasan) pada transmisi perantara di antara Malik dan ‘Amr. Hadis ini juga dinilai lemah oleh Syaikh asy-Syatsri oleh Syaikh al-Albani.[1]

Faidah dan Penjelasan Matan:

Jual beli dengan uang muka atau persekot di sini maksudnya adalah pembeli menyerahkan uang muka sebagai bagian dari harga, yang apabila pembeli tidak jadi membeli atau tidak mampu melakukan pelunasan sampai dengan waktu yang ditentukan maka seluruh uang muka tersebut menjadi milik penjual.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Pendapat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad membolehkan hal tersebut, karena dalil larangannya tidak sahih, juga terdapat riwayat ‘Umar yang membolehkannya dan bahwa itu dilakukan atas dasar kerelaan. Sedangkan pendapat lain yang ternisbatkan kepada jumhur: Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i adalah hal tersebut terlarang dan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam Muktamar ke-8 di Bandar Sri Begawan, Brunei, pada tanggal 21-27 Januari 1993, menetapkan bahwa transaksi ‘Urban (bisa juga dibaca: ‘Urbun) diperkenankan apabila dengan disertai masa tunggu yang terbatas.[2]

Di dalam AAOIFI Standards, dibedakan antara ‘Urbun (persekot) dengan Hamisy al-Jiddiyyah (tanda komitmen). Pada Hamisy al-Jiddiyyah, dana yang diambil oleh penjual adalah sekadar untuk menutup kerugian riil (real loss) yang ia alami, sedangkan sisanya dikembalikan kepada pembeli. Ini adalah pendapat yang pertengahan.

Allahu a’lam.

 

Footnote:

[1]  Lihat: Misykah al-Mashabih no. 2864.

[2]  Lihat: Taudhih al-Ahkam, vol. IV, hlm. 293.