Hadis ke-29:
وَعَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، «وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلَا تُسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: «لَا يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ الْمُسْلِمِ».
Dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang orang kota menjual kepada orang desa, serta janganlah melakukan jual beli najasy, janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya, dan janganlah seorang wanita meminta agar saudarinya ditalak untuk mendapatkan apa yang ada di bejananya.” Muttafaq ‘alaih, dan menurut riwayat Imam Muslim: “Janganlah seseorang menawar di atas tawaran sesama muslim.”

Autentikasi Riwayat:
Hadis ini sahih, karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya[1] dan juga Imam Muslim dalam Shahih-nya.[2]
Faidah dan Penjelasan:
Terdapat enam larangan yang disebutkan dalam hadis dimaksud, di antaranya adalah larangan penduduk kota menjual untuk orang desa dan larangan najasy (demand manipulation, manipulasi permintaan), yang telah dijelaskan pada artikel penjelasan hadis sebelumnya.
Larangan selanjutnya, menjual di atas jualan orang lain. Misalnya, seorang penjual berkata kepada pembeli yang telah membeli suatu barang seharga sepuluh: “Aku akan memberimu barang serupa dengan harga sembilan,” atau “Aku akan memberikan barang yang lebih baik dengan harga yang sama,” dengan tujuan agar transaksi sebelumnya dibatalkan dan berpindah kepadanya.
Hal yang serupa juga berlaku dalam pembelian di atas pembelian orang lain, yaitu seorang pembeli berkata kepada penjual yang telah menjual barang seharga sembilan: “Aku akan membelinya darimu seharga sepuluh.” Ini memiliki makna yang sama dengan jual beli yang dilarang, sehingga larangan dalam hadis ini mencakup baik penjualan maupun pembelian.
Banyak ahli fikih menjelaskan bahwa larangan di atas berlaku dalam masa khiyar majelis dan khiyar syarat. Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa larangan ini tetap berlaku meskipun masa khiyar telah berlalu. Sebab perbuatan semacam ini dapat menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin dan mendorong orang yang ditawarkan harga lebih tinggi untuk mencari cara agar dapat membatalkan akad jual beli.
Akad jual beli yang dilakukan dengan cara ini batal, baik dalam bentuk menjual di atas jualan orang lain maupun membeli di atas pembelian orang lain. Adapun menawar di atas tawaran orang lain, hukumnya haram tetapi tidak membatalkan akad jika transaksi telah berlangsung. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Syarh Zad al-Mustaqni’.
Selanjutnya tentang larangan menawar di atas tawaran orang lain. Artinya, jika pemilik barang dan seorang calon pembeli telah sepakat mengenai transaksi, tetapi belum dilaksanakan akad, lalu ada orang lain yang datang dan berkata kepada penjual: “Batalkan kesepakatan itu, aku akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi,” atau berkata kepada calon pembeli: “Batalkan kesepakatan itu, aku akan memberimu barang yang lebih baik dengan harga yang sama atau dengan harga yang lebih murah.”
Yang dimaksud dalam hadis ini bukanlah tawar-menawar dalam konteks lelang (muzayadah), karena hal tersebut diperbolehkan dengan kesepakatan ulama.
Larangan berikutnya, tentang melamar di atas lamaran orang lain. Itu adalah perbuatan yang haram. Jika seseorang menikahi wanita dalam kondisi tersebut, maka ia telah bermaksiat kepada Allah. Namun, mayoritas ulama menilai akad nikahnya tetap sah, kecuali Dawud az-Zahiri yang berpendapat bahwa akad nikahnya batal.
Kasus yang Diperbolehkan untuk Melamar di Atas Lamaran Orang Lain:
- Jika pelamar pertama memberikan izin secara eksplisit kepada pelamar kedua.
- Jika pelamar kedua tidak mengetahui bahwa wanita tersebut sudah dilamar.
- Jika lamaran pertama ditolak oleh wanita atau walinya.
- Jika pelamar pertama membatalkan lamarannya dan tidak lagi tertarik untuk menikahinya.
Dalam kondisi-kondisi di atas, tidak ada dosa bagi pelamar kedua untuk melamar sang wanita.
Larangan selanjutnya, tentang seorang wanita meminta agar saudarinya diceraikan, yaitu seorang wanita tidak boleh meminta kepada seorang pria untuk menceraikan istrinya, agar ia bisa menggantikan posisi istrinya tersebut.
Bagaimana untuk kasus seorang wanita bersedia dinikahi (dipoligini) tapi dengan syarat sang pria menceraikan istri sebelumnya? Dalam mazhab Hanbali, syarat itu sah dan wajib dipenuhi. Mereka berargumen bahwa wanita tersebut memiliki kepentingan dalam syarat ini. Namun, pendapat kedua dalam mazhab Hanbali—yang juga merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—menyatakan bahwa syarat ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi, karena syarat semacam ini tidak halal untuk dibuat. Bahkan kalaupun disepakati, syarat itu tetap dianggap batal.
Adapun frasa: “agar ia menumpahkan apa yang ada dalam wadahnya”, maka ungkapan ini merupakan perumpamaan yang digunakan untuk menggambarkan keburukan perbuatan tersebut, yaitu tindakan seorang wanita yang menghilangkan nafkah, perlindungan, dan kedudukan istri di sisi suaminya.
Footnote:
[1] No. 2158.
[2] No. 1521.