Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (030-031) – Pemisahan yang Dilarang

Hadis ke-30:   

وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ – رضي الله عنه -[قَالَ]: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: «مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا, فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ». رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَلَكِنْ فِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ، وَلَه شَاهِدٌ

Dari Abu Ayyub al-Anshari RA, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang tersayangnya pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad dan disahihkan oleh at-Tirmidzi serta al-Hakim, namun pada sanadnya masih terdapat kritik dan terdapat penguatnya.

Autentikasi Riwayat:

Hadis ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Bassam.

Faidah dan Penjelasan:

Penjelasannya akan digabungkan dengan hadis berikutnya.

Sumber gambar: pexels.com

Hadis ke-31:   

وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رضي الله عنه – قَالَ: أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ أَبِيعَ غُلَامَيْنِ أَخَوَيْنِ، فَبِعْتُهُمَا، فَفَرَّقْتُ بَيْنَهُمَا، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: «أَدْرِكْهُمَا، فَارْتَجِعْهُمَا، وَلَا تَبِعْهُمَا إِلَّا جَمِيعًا». رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ، وَقَدْ صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ، وَابْنُ الْجَارُودِ، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ, وَالطَّبَرَانِيُّ، وَابْنُ الْقَطَّانِ.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib RA, beliau berkata, “Rasulullah SAW pernah menyuruhku untuk menjual dua budak kecil yang bersaudara. Lalu aku menjualnya secara terpisah dan aku memberitahukan itu kepada Nabi SAW. Maka Nabi bersabda, “Susul dan ambillah kembali. Janganlah menjual keduanya kecuali dengan bersama-sama.” Riwayat Ahmad, dengan para perawi yang terpercaya. Hadis ini disahihkan oleh Ibn Khuzaimah, Ibn al-Jarud, Ibn Hibban, al-Hakim, ath-Thabrani dan Ibn al-Qaththan.  

Autentikasi Riwayat:

Hadis ini dinilai hasan karena ada syawahid-nya (penguat-penguatnya) oleh Syaikh al-Bassam.

Faidah dan Penjelasan Matan:

Kedua hadis ini membahas satu topik permasalahan, yaitu tentang apakah diperbolehkan untuk memisahkan kerabat dalam jual beli. Ancaman dalam hadis itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diharamkan dan termasuk dosa besar.

Contohnya: seorang laki-laki memiliki seorang budak wanita yang juga memiliki anak yang merupakan budak. Bagaimana anaknya bisa menjadi budak? Dengan cara menikahkannya dengan seorang budak laki-laki atau dengan seorang laki-laki merdeka (yang ia telah mengetahui bahwa wanita tersebut adalah budak). Jika ia menikahkannya dengan seorang budak, maka anak-anak dari budak wanita itu juga menjadi budak bagi tuannya. Begitu pula jika budak wanita itu dinikahkan dengan seorang laki-laki Merdeka.

Intinya, jika seorang tuan memiliki budak wanita dan anak yang keduanya adalah budaknya, lalu ia menjual sang ibu tanpa menjual anaknya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Jual beli tersebut haram, bahkan termasuk dosa besar, karena diiringi dengan ancaman khusus, baik ancaman tersebut berupa neraka, kemurkaan, laknat, pelepasan dari keimanan, dan lain semisalnya.

Apakah jual beli semacam itu sah? Jawabannya adalah tidak, jual beli tersebut batal atau harus dikembalikan, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis ‘Ali. Hal ini juga sejalan dengan kaidah bahwa jika larangan berhubungan langsung dengan akad itu sendiri, maka akad tersebut tidak sah.

Dalam hadis ‘Ali disebutkan larangan memisahkan dua saudara, dan para ulama berdalil dengan hadis ini, serta hadis sebelumnya, sebagai kaidah bahwa tidak boleh memisahkan kerabat dalam jual beli. Jika ditanyakan, apa patokannya? Patokannya adalah hubungan mahram dalam keluarga. Dengan demikian, tidak boleh untuk memisahkan bibi dan keponakannya, misalnya. Namun, sepupu boleh dipisahkan karena jika salah satu dari mereka adalah perempuan, maka boleh menikah dengan yang lain. Bagaimana dengan ibu dan anak perempuan susuan? Itu boleh dipisahkan, karena bukan hubungan darah, melainkan hubungan susuan.

Hadis ‘Ali juga menunjukkan bahwa secara umum tiap akad yang batal harus dikembalikan.

Dari kedua hadis ini juga dapat diambil pelajaran tentang rahmat Allah kepada para hamba-Nya, di mana Dia mengharamkan pemisahan antara kerabat, karena pada pemisahan kerabat terdapat kesengsaraan, terutama antara ibu dan anaknya.

Jika ada yang bertanya, apakah ada batas waktu hukum ini berlaku, atau tidak ada batas waktu? Ada perbedaan pendapat; sebagian ulama berpegang pada teks hadis dan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara yang masih kecil dan yang sudah besar. Namun, sebagian ulama mengatakan ada perbedaan antara yang kecil dan yang besar. Batasannya adalah, jika sudah tidak lagi membutuhkan yang lain. Dalam hadis ‘Ali disebutkan dua budak anak laki-laki yang masih kecil, atau yang disebut sebagai “ghulam” (budak laki-laki kecil). Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah adanya pembatasan. Jika keduanya sudah tidak saling membutuhkan, maka kasih sayang dan keakraban antara keduanya biasanya hilang. Kasih sayang dan perhatian ibu kepada anaknya saat masih kecil tidak sama dengan ketika anak tersebut sudah besar. Jadi, selama anak tersebut masih membutuhkan ibunya, saudaranya atau pamannya, maka tidak boleh dipisahkan. Namun, setelah mereka dewasa dan masing-masing bisa mandiri, maka tidak diharamkan untuk memisahkan.

Apakah pemisahan ini hanya berlaku dalam jual beli atau juga dalam pembebasan budak? Jawabannya: hanya dalam jual beli. Adapun dalam pembebasan, boleh membebaskan ibu dan meninggalkan anaknya, atau membebaskan anak dan meninggalkan ibunya. Sebab, orang yang merdeka menguasai dirinya sendiri. Jika seseorang dibebaskan, maka ia bisa kembali kepada kerabatnya, karena ia tidak lagi terikat dengan kepemilikan orang lain.

Apakah hadis ini juga mencakup pemisahan antara ibu dan anak dari kalangan hewan? Sebagian ulama mengatakan berlaku secara umum, dan bahwa tidak boleh menjual anak binatang tanpa induknya, atau induk tanpa anaknya. Namun, ini perlu ditinjau ulang. Pendapat yang tampaknya lebih tepat adalah bahwa hal ini hanya khusus untuk manusia saja, adapun untuk binatang maka tidak masalah. Namun, tetap dianjurkan untuk berbuat baik terhadap hewan, misalnya antara lain dengan tidak menyembelih hewan di hadapan induknya, dan begitu pula sebaliknya.