Redaksi Hadis:
وعَنْ أَبِي مَالِكٍ الحَارِثِ بْنِ هَاشِمٍ الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ قَالَ: الصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ. رواه مسلم
Dari Abu Malik al-Harits bin Hasyim al-Asy’ari (radhiyallahu ‘anhu), bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda: “Salat adalah cahaya, sedekah adalah bukti, dan sabar adalah sinar.” [HR Muslim.]

Penjelasan:
Pembaca yang budiman, rahimakumullah, pada bagian ini kita akan membahas hadis-hadis sahih tentang sabar.
Pada kutipan hadis di atas terdapat penyebutan tentang tiga perkara yang diperintahkan dalam Islam, yaitu salat, sedekah dan sabar.
Salat adalah cahaya, yang menerangi seorang hamba, pada qalbunya, pada wajahnya, pada kuburnya, pada hari kebangkitan kelak, dan pada seluruh kondisinya. Oleh karenanya, kita dapati bahwa orang yang salatnya paling banyak dan paling khusyuk maka wajahnya paling bercahaya.
Selanjutnya tentang sedekah, yaitu memberikan harta dalam rangka ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Jika sedekah adalah bukti, maka apa yang dibuktikan? Jawabnya, ia adalah bukti keimanan. Sebab, manusia itu pada dasarnya pelit dan cinta harta. Namun, apabila ia memiliki iman dan lebih mencintai Allah, maka ia rela memberikan harta yang ia cintai.
Jadi, tingkatan sedekah seseorang itu berbanding lurus dengan tingkat keimanannya. Di kalangan Sahabat, yang paling tinggi imannya adalah Abu Bakr ash-Shiddiq dan beliau pernah bersedekah dengan seluruh hartanya menjelang perang Tabuk, sementara ‘Umar bin al-Khaththab pada waktu itu bersedekah dengan separuh hartanya.[1]
Berikutnya adalah tentang sabar. Dalam hadis di atas disebutkan bahwa sabar adalah sinar (dhiya`). Apa bedanya dhiya` (sinar) dengan nur (cahaya)? Perbedaannya, pada dhiya` terdapat panas (hararah), contohnya matahari, sementara contoh nur adalah pada bulan. Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (posisi-posisi) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” [QS Yunus: 5]
Intinya, pada sabar terdapat panas, yaitu berupa keletihan dan kesukaran.
Apa definisi sabar? Sabar secara etimologi (Arabic: shabara—yashbiru—shabran) bermakna habs (habasa—yahbisu—habsan), yaitu menahan. Kalau dikatakan: qutila shabran, maka maknanya adalah dia dibunuh dengan cara ditahan (tanpa diberi makan dan minum).
Adapun secara terminologis sabar adalah menahan diri pada tiga perkara: (1) ketaatan kepada Allah; (2) hal-hal yang diharamkan oleh Allah; dan (3) takdir Allah berupa musibah dan kesulitan.[2]
Sabar terkait dengan dua aspek, yaitu: (1) jasmani dan (2) rohani. Sabar dalam aspek jasmani, misalnya dengan menahan keletihan saat melakukan ibadah haji, salat, dan semisalnya. Sedangkan sabar dalam aspek rohani, misalnya dengan menahan amarah.
Bagaimana hukum sabar? Hukumnya diklasifikasikan menjadi lima:
(1) Wajib, yaitu: sabar dalam melaksanakan perkara yang wajib dan meninggalkan yang haram serta sabar atas musibah (sebagaimana definisi yang telah disebutkan di atas).
(2) Mandub (dianjurkan), yaitu sabar untuk melaksanakan perkara yang mandub, dan meninggalkan perkara yang makruh.
(3) Haram, misalnya sabar dengan menahan diri tidak makan sampai meninggal dunia, atau menahan diri untuk berada di sekitar hewan mematikan, atau menahan diri dengan diam saja sehingga terbunuh saat berperang melawan orang kafir.
(4) Makruh, misalnya sabar dengan sengaja makan sangat sedikit (tanpa keperluan) dan tidak menggauli istri padahal dibutuhkan.
(5) Mubah, yaitu dalam hal-hal yang dibolehkan dan dibebaskan untuk dilakukan atau ditinggalkan.[3] Misalnya, rutin berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh dan antri untuk memakan makanan halal yang enak di restoran.
Adapun tentang penyikapan terhadap takdir Allah berupa musibah dan kesulitan, maka terdapat empat level, dari yang terendah sampai tertinggi:
Pertama: Kalut, murka, tidak sabar. Ini adalah level terendah. Hukumnya haram dan juga tidak akan memperbaiki keadaan, bahkan hanya semakin memperparah.
Kedua: Sabar. Hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan ulama.[4] Orang yang bersabar mampu menanggung musibah, meskipun ia merasakan pahit, perih dan berat. Ia juga kurang suka dengan musibah yang menimpanya. Namun ia masih mampu mengendalikan dirinya dari tindakan yang diharamkan.
Ketiga: Rida. Orang yang rida terhadap musibah maka ia tidak mempermasalahkan dan tidak merasa berat dengan musibah tersebut.
Keempat: Syukur. Pada level keempat, yang merupakan level tertinggi, seseorang mampu bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya.
Level Ketiga dan Keempat tersebut hukumnya tidak sampai pada derajat wajib, melainkan dianjurkan.
Bagaimana seseorang dapat bersyukur terhadap musibah? Pertama, ia memandang orang lain yang terkena musibah yang lebih besar, maka ia bersyukur mendapatkan musibah yang lebih ringan. Kedua, ia menyadari bahwa musibah merupakan hal yang dapat menggugurkan dosa-dosanya dan meninggikan derajatnya di sisi Allah, serta bahwa orang yang terberat cobaannya adalah para Nabi kemudian orang-orang saleh, sehingga ia berharap termasuk dalam orang saleh tersebut.[5]
Nabi bersabda,
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاءً الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأمْثَلُ فَالأمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسبِ دِيْنِه، فَإِنْ كانَ دِينُه صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ وَإِنْ كانَ فِي دِيْنِه رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلى حَسبِ دِينِه، فَمَا يَبْرَحُ البَلاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكه يَمْشِي عَلى الأرْضِ مَا عَلَيْه خَطِيْئَةٌ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang levelnya dengan mereka dan kemudian yang levelnya di bawahnya lagi. Seseorang itu diuji sesuai level keagamaannya. Kalau kuat, maka ujiannya semakin berat. Namun kalau lemah, maka sesuai dengan tingkatannya. Ujian itu senantiasa menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di atas bumi dalam kondisi tanpa dosa.”[6]
Beliau juga bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sungguh, besarnya pahala itu bersama dengan besarnya ujian. Dan sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan mengujinya. Siapa yang rida, maka akan mendapatkan keridaan (Allah), sedangkan siapa yang murka maka dia mendapatkan kemurkaan.”[7]
Footnote:
[1] HR Abu Dawud no. 1678, dan lain-lain. Riwayat tersebut dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani.
[2] Lihat: Syarh Riyadh ash-Shalihin, karya Syaikh Ibn ‘Utsaimin, vol. I, hlm. 67.
[3] LIhat: Faidh al-Qadir, vol. IV, hlm. 233.
[4] Sebagaimana dinyatakan oleh Ibn al-Qayyim dalam ‘Uddah ash-Shabirin, hlm. 67.
[5] Lihat: asy-Syarh al-Mumti’, vol. V, hlm. 395-396.
[6] Lihat ash-Shahihah no. 143.
[7] HR at-Tirmidzi no. 2396, dan lain-lain. Hadis tersebut dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2110.