Search
Close this search box.

Seri Mutiara Hadis Riyadhush Shalihin 01 – Niat dan Keikhlasan adalah Sebab Kebahagiaan

fikih muamalah evermos riyadhush shalihin

Teks Hadis: 

عَنْ أبي حَفْصٍ عُمرَ بنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه، أن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال: “إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَر إليْهِ.” متَّفَقٌ عَلَيه.

Dari Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu ‘anhu), bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Hanysalah amal itu tergantung niat, dan hanyalah tiap orang itu mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia, atau untuk menikahi wanita, maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya tersebut.” [Muttafaq ‘alaih][1]

fikih muamalah evermos
Source: pexels.com

 

Penjelasan Hadis:

Hadis ini disampaikan oleh ‘Umar bin al-Khaththab ketika berkhutbah di atas mimbar Masjid Nabawi dengan dihadiri oleh para Sahabat. Ia adalah satu hadis sangat agung yang merupakan salah satu pondasi Islam. Bahkan ia sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu ‘Ubaid,

ليس في الأحاديث أجمع ولا أغنى ولا أنفع ولا أكثر فائدة منه

“Tidak ada hadis lebih komprehensif, lebih kaya, lebih bermanfaat dan lebih banyak faidahnya dibandingkan dengan hadis ini.”

Karena keagungan hadis ini maka banyak ulama besar dan para imam, seperti ‘Abdurrahman bin Mahsdi, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali bin al-Madini, Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Daraquthni dan slain-lain, menilai bahwa hadis ini merepresentasikan sepertiga Islam.

Kenapa sepertiga? Berdasarkan penjelasan Imam al-Baihaqi dan al-‘Aini, karena agama Islam dan apa yang diperoleh seorang hamba itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan niat. Dari ketiganya, niat adalah yang paling unggul. Sebab ucapan dan perbuatan butuh kepadanya. [2]

Karena keagungan hadis ini pula, sejumlah ulama menyarankan bagi para penulis kitab hendaklah ia memulai dengan hadis ini, agar para pencari ilmu memperbaiki niat mereka.[3] Itulah yang dilakukan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, al-Maqdisi dalam ‘Umdah al-Ahkam, an-Nawawi dalam al-Majmu’, as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir, dan lain-lain. [4]

Ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa hadis dimaksud memiliki konteks atau kisah yang melatarbelakanginya (sabab wurud), yaitu seorang pria yang berhijrah untuk menikahi wanita bernama Ummu Qais. Pria itu pun disebut dengan Muhajir Ummi Qais. Namun pendapat yang kami pilih adalah sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar bahwa meskipun kisah tersebut sahih, namun tidak ada keterangan bahwa hadis dimaksud disampaikan karena sebab adanya kisah tersebut.

Ada dua bagian kalimat dari hadis di atas: (1) Innamal a’mal bin niyyat; (2) Wa innama li kulli mrin ma nawa. Di sini terdapat beda pendapat di kalangan ulama:

  • Sebagian ulama menyatakan dua kalimat itu maksudnya sama, yaitu bahwa kalimat kedua menguatkan kalimat pertama.
  • Sebagian ulama lainnya membedakan, bahwa kalimat pertama bicara tentang sebab, sedangkan kalimat kedua tentang natijah (hasil). Ini adalah pendapat yang lebih selaras dengan kaidah yang berbunyi: at-ta’sis aula minat-ta’kid (artinya: dibandingkan untuk penguatan yang semakna, maka pengasasan makna baru yang berbeda itu lebih diunggulkan).

Kata innama dalam bahasa Arab adalah sebagai adatu hashr, yaitu untuk pengkhususan dan penyempitan, yang kalau kita alihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “hanyalah”. Misalnya, kalau saya bilang, “Hanyalah kehadiran saya di sini untuk bertemu denganmu.”

Selanjutnya kata a’mal, yang dimaksud di sini meliputi ucapan, perbuatan, dan juga kesengajaan untuk meninggalkan sesuatu. Misalnya, Anda diajak untuk berjudi, tapi Anda tidak mau, maka kesengajaan Anda tidak mau berjudi itu termasuk ke dalam amalan.

Kata selanjutnya adalah “niat” sapa makna niat?

Niat secara etimologis maupun terminologis berkisar pada dua makna, yaitu qashd (tujuan) dan ‘azm (tekad). Imam an-Nawawi,

النية هي القصد إلى الشيء والعزيمة على فعله

Para ulama sepakat bahwa letak niat itu adalah di dalam hati. Artinya, misalnya kalau ada yang bilang saya tulus membantu orang lain, padahal di hatinya dia ingin pujian, maka yang jadi acuan adalah yang ada dalam hatinya.

Lalu apa hubungan niat dengan Ikhlas? Ikhlas adalah mahdh an-niyyah (niat yang murni dan tulus). Tulus kepada siapa? Tentunya kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة

Padahal manusia itu tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [QS al-Bayyinah: 5]

Kalau ada niat yang tulus/murni berarti ada niat yang tidak tulus/murni, yaitu yang bercampur dengan kepentingan lain. Misalnya: supaya dapat pujian, supaya dilihat calon mertua, dan lain-lain.

Lebih detailnya, peran niat dalam pembahasan ulama adalah sebagai berikut:

  • Pertama: Membedakan tujuan, apakah untuk Allah Ta’ala semata atau ada tujuan lain yang menyertainya.
  • Kedua: Membedakan adat kebiasaan dari ibadah, sekaligus mengubah adat menjadi ibadah. Ini adalah yang dilakukan oleh orang-orang yang saleh. Misal: tidur dan makan itu hanyalah sekadar adat kebiasaan bagi kebanyakan orang, namun orang-orang saleh meniatkan hal tersebut sebagai sarana untuk menguatkan ibadah, maka yang tadinya sekadar adat itu pun berubah menjadi ibadah.
  • Ketiga: Membedakan ibadah yang satu dengan yang lain. Misal: Pembedaan salat Subuh dengan salat sunnah fajar, serta puasa qadha dengan puasa sunnah.

Kembali ke redaksi hadis. Intinya, adalah kita diperintahkan untuk memelihara niat dan keikhlasan. Nah, ini yang perlu kita sama-sama introspeksi. Tentunya kita masih sama-sama jauh dari ideal. Tapi mari kita terus berusaha untuk senantiasa memperbaikinya.

Kenapa demikian? Sebab di antara buah keikhlasan adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana halnya sebaliknya, buah dari ketidakikhlasan adalah lawannya, yaitu kesengsaraan.

Ketika menafsirkan ayat ke-3 dari QS al-Baqarah, Syaikh as-Sa’di berkata,

فعنوان سعادة العبد إخلاصه للمعبود، وسعيه في نفع الخلق، كما أن عنوان شقاوة العبد عدم هذين الأمرين منه، فلا إخلاص ولا إحسان

Alamat kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Allah, dan usahanya untuk memberi manfaat kepada sesama makhluk, sebagaimana halnya alamat kesengsaraannya adalah ketiadaan dua perkara tersebut, yaitu ketiadaan Ikhlas dan ihsan.”

Allahu a’lam.

 

Footnote:

[1]  Riwayat al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907.

[2]  Lihat: Faidh al-Qadir, vol. I, hlm. 30. Ada juga yang menilai hadis dimaksud merepresentasikan seperempat Islam dan terdapat pula ragam penilaian lainnya.

[3]  Sebagaimana halnya pencari ilmu butuh untuk mengawali aktivitas mereka dengan perbaikan niat, maka begitu pula halnya dengan kalangan pekerja, dan lain-lain.

[4]  Qawa’id wa Fawaid min al-Arba’in an-Nawawiyyah, Dr. Nazhim Sulthan, hlm. 29.

Artikel Lainnya