Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (025-026) – Tujuh Transaksi Terlarang

Hadis ke-25

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- أَنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ الْمُحَاقَلَةِ، وَالْمُزَابَنَةِ، وَالْمُخَابَرَةِ، وَعَنْ الثُّنْيَا إِلَّا أَنْ تُعْلَمَ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ

Dari Jabir bin ‘Abdillah, bahwa Nabi melarang dari Muhaqalah, Muzabanah, Mukhabarah dan Tsunayya (pengecualian), kecuali ia jelas. [Riwayat Lima Imam, kecuali Ibn Majah, serta disahihkan oleh at-Tirmidzi]

Hadis ke-26

وَعَنْ أَنَسٍ – رضي الله عنه – قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمُحَاقَلَةِ، وَالْمُخَاضَرَةِ، وَالْمُلَامَسَةِ، وَالْمُنَابَذَةِ، وَالْمُزَابَنَةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Anas, beliau mengatakan bahwa Nabi melarang dari Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabadzah dan Muzabanah. [Riwayat al-Bukhari]

Autentikasi Riwayat:

Hadis Jabir dinilai sahih oleh Syaikh Mahir al-Fahl. Adapun hadis Anas maka sahih karena diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya.[1]

Sumber foto: pexels.com

 

Faidah dan Penjelasan Matan:

Syaikh Nuruddin al-‘Itr menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut memberikan faidah pengharaman tujuh jenis transaksi jual-beli di atas, dan hal tersebut pada prinsipnya merupakan kesepakatan para Imam.[2]

Tujuh jenis transaksi dimaksud yaitu:

Pertama: Muhaqalah, yaitu mempertukarkan biji-bijian di dalam tangkainya dengan biji-bjian yang telah dikupas dari jenis yang sama. Misalnya mempertukarkan padi dengan beras.

Kedua: Muzabanah, yaitu mempertukarkan kurma muda (yang masih basah, ruthab) dengan kurma tua (yang sudah kering, tamr), atau mempertukarkan anggur dengan kismis.

Ketiga: Mukhabarah, yaitu mempekerjakan orang lain untuk mengelola lahan pertanian dengan imbalan hasil pertanian dari bagian lahan yang spesifik. Misalnya, seseorang berkata, “Saya mempekerjakan Anda untuk mengelola lahan pertanian saya dengan imbalan hasil pertanian dari 100 meter persegi lahan pertanian bagian utara.”

Keempat: Tsunayya (Pengecualian), yaitu jual beli dengan pengecualian yang belum spesifik atau belum diketahui. Misalnya seseorang berkata, “Saya jual lahan ini kepada Anda kecuali sebagiannya.” Kata “sebagian” di sini tidak jelas mana yang dimaksud. Tidak termasuk ke dalam larangan apabila pengecualian tersebut telah dijelaskan secara spesifik. Misalnya seseorang berkata, “Saya jual lahan ini kepada Anda kecuali 100 meter persegi di bagian utara,” maka ini dibolehkan karena telah jelas.

Kelima: Mukhadharah, yaitu jual-beli buah-buahan dan dan biji-bijian di pohonnya dalam kondisi yang masih belum tampak tanda kematangannya (qabla buduwwi shalahiha).

Apa yang dimaksud dengan tampak tanda kematangannya? Yang dimaksud adalah perubahan warnanya menjadi warna buah yang matang atau sudah bisa dikonsumsi.

Jika buah telah tampak tanda kematangannya (ba’da buduwwi shalahiha), maka boleh diperjualbelikan secara mutlak menurut mayoritas ulama.

Adapun jika belum tampak tanda kematangannya, maka terdapat perincian:

  • Jika dengan syarat dibiarkan di pohonnya, maka para ulama sepakat itu terlarang, sebagaimana yang dimaksudkan oleh hadis tersebut.
  • Jika dengan syarat dipotong dari pohonnya pada saat transaksi, maka para ulama sepakat itu boleh.
  • Jika tidak disebutkan persyaratan dipotong atau dibiarkan, maka menurut Abu Hanifah, jual belinya sah dan harus dipotong pada saat transaksi. Sedangkan menurut mayoritas ulama lainnya tidak sah, sesuai dengan keumuman larangan.
  • Jika sekadar merupakan efek ikutan (tab’an) dari transaksi jual-beli lahan perkebunan, maka dibolehkan.

Keenam: Mulamasah, yaitu misalnya seseorang berkata, “Saya jual pakaianku ini dengan pakaianmu itu,” padahal satu sama lain tidak saling melihat dan hanya sekadar meraba saja. Pelarangan ini disebabkan adanya faktor jahalah (ketidaktahuan) terhadap objek yang diperdagangkan.

Ketujuh: Munabadzah, yaitu misalnya seseorang berkata, “Saya jual benda yang ada pada tanganku dengan benda yang ada pada tanganmu,” padahal benda yang diperdagangkan tersebut belum diketahui oleh satu sama lain. Sama seperti halnya sebelumnya, pelarangan ini juga disebabkan adanya faktor jahalah (ketidaktahuan) terhadap objek yang diperdagangkan.[3]

Sebagian dari transaksi di atas merupakan bagian dari peristiwa klasik di masa lampau yang mungkin telah kehilangan relevansinya untuk masa sekarang ini.

 

Footnote:

[1]  No. 2208.

[2]  Lihat: I’lam al-Anam, vol. II, hlm. 633.

[3]  Lihat: Syarh Bulugh al-Maram, Syaikh Sa’d asy-Syatsri, vol. II, hlm. 300-301.