Hadis ke-19
وَعَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ. وَلِأَبِي دَاوُدَ: مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوَكَسُهُمَا, أَوْ الرِّبَا
“Masih dari dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu), beliau berkata, “Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang dua transaksi jual-beli dalam satu transaksi.” [Riwayat Ahmad dan an-Nasai, serta disahihkan oleh at-Tirmidzi dan Ibn Hibban. Menurut riwayat Abu Dawud: “Siapa yang melakukan dua transaksi dalam satu transaksi maka baginya harga yang terendah atau termasuk riba.”]
Autentikasi Riwayat:
Hadis dengan riwayat-riwayat di atas adalah valid, sebagaimana penilaian Syaikh Mahir al-Fahl dan Syaikh al-Albani.[1]
Faidah dan Penjelasan Hadis:
Bisa dikatakan bahwa para ahli fikih bersepakat dua transaksi dalam satu transaksi pada prinsipnya dilarang.[2] Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam penafsirannya, yang beberapa di antaranya dapat diringkas sebagai berikut:
Pertama: Maksudnya adalah adanya dua harga yang tidak jelas. Misalnya, penjual berkata, “Aku jual motor ini dengan harga 15 juta rupiah apabila dicicil selama 1 tahun, dan harganya 20 juta rupiah apabila dicicil selama 2 tahun.” Lalu pembeli melakukan pembelian tanpa menentukan harga mana yang ia pilih. Ini adalah penafsiran yang selaras dengan yang teriwayatkan dari Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i.
Kedua: Maksudnya adalah transaksi ‘inah. Ini adalah penafsiran Ibn al-Qayyim, Ibn ‘Utsaimin dan yang sejalan dengannya.
Apa yang dimaksud dengan ‘inah? Menurut penafsiran paling populer adalah transaksi antara dua pihak, di mana barang tertentu dijual secara tangguh, lalu dibeli kembali secara kontan dengan harga yang lebih rendah.[3] Transaksi ‘inah adalah rekayasa untuk riba, yang dihukumi haram oleh jumhur ulama.
Menurut Ibn al-Qayyim, penafsiran ini diperkuat dengan redaksi: falahu awkasuhuma awir-riba, baginya harga yang terendah atau termasuk riba.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa maksud dari hadis di atas memang mencakup lebih dari satu penafsiran, yang dalam hal ini mencakup penafsiran pertama dan kedua sebagaimana di atas.
Ketiga: Maksudnya adalah satu akad yang dipersyaratkan dengan akad lainnya. Misalnya, seseorang berkata, “Saya menjual buku ini seharga 100 ribu rupiah, dengan syarat engkau menjual pena tersebut seharga 20 ribu rupiah.” Penafsiran ini dinisbatkan antara lain kepada Imam Ahmad. Syaikh Ibn ‘Utsaimin melemahkan penafsiran tersebut dan menilai bahwa itu adalah transaksi yang tidak terlarang.[4]
Keempat: Sebagian Salaf, seperti Ibn Sirin dan Thawus, menafsirkannya sebagai transaksi dengan adanya perbedaan harga, yaitu antara harga secara kontan dan harga secara tangguh. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Albani.[5]
Contohnya adalah penjual berkata, “Barang ini saya jual dengan harga 1 juta rupiah untuk pembelian kontan, atau dengan harga 2 juta untuk pembelian dengan cicilan dalam jangka waktu 2 tahun.”
Menurut kecenderungan kami, penafsiran keempat ini bukanlah penafsiran yang kuat. Sebab, yang terjadi pada contoh di atas itu bukanlah dua transaksi jual beli, melainkan hanya sekadar adanya dua penawaran. Ketika pembeli memilih salah satu dari dua penawaran tersebut, maka hanya terjadi satu transaksi jual beli. Selain itu, transaksi dengan model tersebut itu hukumnya boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Allahu a’lam.
Footnote:
[1] Lihat: Shahih al-Jami’ no. 6943 dan ash-Shahihah no. 2326. Syaikh Mahir al-Fahl menilai kedua riwayat tersebut derajatnya hasan.
[2] Lihat: Syarh al-Bulugh al-Maram, karya Prof. Dr. Sa’d asy-Syatsri, vol. II, hlm. 291-292.
[3] Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, vol. IX, hlm. 96.
[4] Lihat: Fath Dzil Jalal wal Ikram, vol. III, hlm. 547-549.
[5] Lihat: Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2326, berikut uraiannya.