Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (020) – Penggabungan Pinjaman dan Jual-Beli

Fikih Muamalah dan Jual Beli

Hadis ke-20

وَعَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم: «لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ». رَوَاهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ.

وَأَخْرَجَهُ فِي «عُلُومِ الْحَدِيثِ» مِنْ رِوَايَةِ أَبِي حَنِيفَةَ، عَنْ عَمْرٍو الْمَذْكُورِ بِلَفْظِ: «نَهَى عَنْ بَيْعٍ وَشَرْطٍ» وَمِنْ هَذَا الْوَجْهِ أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي «الْأَوْسَطِ» وَهُوَ غَرِيبٌ

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, beliau mengatakan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda, “Tidak halal pinjaman digabungkan dengan penjualan, dua syarat dalam jual-beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, serta penjualan sesuatu yang bukan milikmu.” [Riwayat Lima Imam Hadis Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Nasai, Ibn Majah dan Ahmad), serta disahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim. Dikeluarkan juga oleh al-Hakim dalam ‘Ulum al-Hadits, dari riwayat Abu Hanifah, dari ‘Amr, dengan redaksi: Beliau melarang jual-beli dengan syarat. At-Thabrani juga meriwayatkan dari jalur ini dalam al-Ausath dan ia termasuk hadis gharib.]

fikih muamalah syariah
Source: pexels.com

Autentikasi Riwayat:

Syaikh Mahir al-Fahl menilai riwayat pertama sebagai hasan, dikarenakan transmisi ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Adapun untuk riwayat kedua, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam ‘Ulum al-Hadits, maka beliau menilainya lemah, di mana padanya terdapat perawi bernama ‘Abdullah bin Ayyub bin Zadan adh-Dharir, yang beliau matruk (hadisnya ditinggalkan).

Faidah dan Penjelasan Hadis:

Hadis ini mengandung sejumlah bahasan fikih muamalah:

Pertama: Larangan menggabungkan jual-beli dan pinjaman. Para ulama memaknai larangan ini berlaku umum untuk penggabungan seluruh jenis akad mu’awadhat (profit oriented, jual-beli, sewa) dengan tabarru’at (charity oriented, pinjaman, utang). Penggabungan keduanya berarti menggabungkan dua hal yang orientasinya saling bertolak belakang. Transaksi demikian termasuk kategori buyu’ ar-riba, atau jual beli yang mengandung riba, di mana bentuknya sejalan dengan kaidah: kullu qardhin jarra naf’an fa huwa riba, setiap pinjaman yang mempersyaratkan tambahan manfaat maka itu termasuk riba.

Asy-Syaukani berkata, “Imam Ahmad berkata, yaitu seorang memberi utang lalu ia melakukan jual-beli dengan adanya penambahan harga. Ini adalah transaksi yang fasid (rusak). Karena ia memberi utang agar ia menaikkan harga penjualan.”[1]

Kedua: Larangan dua syarat dalam transaksi. Para ulama berbeda penafsiran tentangnya:

  • Sebagian menafsirkan maksudnya adalah jual-beli dengan dua harga yang berbeda, sehingga tidak jelas harganya.
  • Sebagian lagi menafsirkan bahwa maksudnya adalah dua persyaratan yang batil. Penafsiran ini kurang kuat, karena satu persyaratan yang batil pun terlarang, apalagi dua.
  • Sebagian menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah transaksi ‘inah,[2] dan yang dimaksud dengan dua syarat adalah dua akad. Ini adalah penafsiran yang terkuat.

 

Ketiga: Larangan keuntungan dari barang yang belum dijamin. Maksud dari belum dijamin di sini adalah belum adanya penguasaan barang (qabdh).

Keempat: Larangan penjualan aset tertentu (mu’ayyan) yang bukan miliknya. Transaksi Salam[3] tidak tercakup dalam larangan ini, karena belum mewujud secara mu’ayyan, melainkan masih berupa maushuf fi dzimmah (spesifikasi deskriptif dalam tanggungan yang harus direalisasikan).[4]

Kelima: Larangan jual beli dengan satu syarat. Telah disebutkan bahwa hadisnya tidak valid. Namun, dengan asumsi hadisnya diterima, maka maksudnya adalah persyaratan yang menafikan konsekuensi dari jual-beli. Misalnya, “Saya jual mobil ini dengan syarat kamu tidak boleh menjualnya lagi, atau kalau kamu jual lagi, maka saya yang menentukan harganya.”

Allahu a’lam.

 

Footnote:

[1]  Lihat: Nail al-Authar, vol. V, hlm. 213.

[2]  Apa yang dimaksud dengan transaksi ‘inah telah dijelaskan sebelumnya.

[3]  Salam adalah transaksi jual-beli dengan pesanan. Misalnya seseorang datang ke tukang kayu lalu memesan lemari dengan spesifikasi tertentu dan membayar harganya secara kontan. Lemari yang dipesan akan dibuat terlebih dahulu oleh tukang kayu selama waktu tertentu dan kemudian diserahkan kepada pembeli.

[4]  Lihat: Syarh Bulugh al-Maram, Syaikh Sa’d asy-Syatsri, vol. II, hlm. 846-847.