Seri Mutiara Hadis Riyadhush Shalihin 11 – Muraqabatullah

Redaksi Hadis: 

عَنْ عُمرَ بنِ الْخَطَّابِ، رضيَ اللَّهُ عنه – أَنَّ النَّبيّ – صلى الله عليه وسلم – سُئِلَ عَنِ الْإِحْسَانِ فَقَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللَّه كَأَنَّكَ تَراهُ. فإِنْ لَمْ تَكُنْ تَراهُ فإِنَّهُ يَراكَ». رواه مسلم

Dari ‘Umar bin al-Khaththab (radhiyallahu ‘anhu) bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah ditanya tentang ihsan, maka beliau berkata, “Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” [HR Muslim] 

Sumber: pexels.com

Penjelasan:

Hadis di atas merupakan penggalan dari hadis Jibril yang menjelma dalam wujud manusia lalu mendatangi Nabi untuk mengajarkan perihal islam, iman dan ihsan. Imam an-Nawawi mencantumkan hadis tersebut dalam versi panjangnya sebagai hadis pertama bab Muraqabah dalam Riyadh ash-Shalihin.

Dalam hadis panjang tersebut dijelaskan bahwa Islam adalah perwujudan lahiriah berupa syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Iman merujuk pada aspek batiniah atau keyakinan dalam qalbu, berupa rukun iman (kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Kiamat dan takdir). Sedangkan ihsan merujuk pada amal qalbu yang lebih spesifik, yaitu keyakinan dalam beribadah kepada Allah pada tingkatan seolah-olah menyaksikan-Nya, atau disaksikan oleh-Nya.

Para ulama menjelaskan bahwa hadis tersebut mengandung penyebutan jenjang dari yang cakupannya lebih rendah kepada yang cakupannya yang lebih luas. Artinya, tingkatan ihsan itu telah mencakup iman dan Islam, sedangkan tingkatan iman itu telah mencakup Islam. Adapun dari sisi pelakunya maka berkebalikan, artinya orang yang sampai pada tingkatan ihsan lebih sedikit dibandingkan dengan yang sampai pada tingkatan iman dan Islam.

Apa yang disebutkan dalam hadis Jibril yang panjang itu juga merupakan contoh dari penerapan kaidah:

إذا اجتمعا افترَقا، وإذا افترَقا اجتمعا

Ada dua hal yang jika tergabung maka terpisah, tapi jika terpisah maka tergabung.”

Maksudnya bagaimana? Yaitu, ada dua lafal yang jika disebutkan bersama, maka maknanya berbeda. Namun, jika disebutkan secara terpisah, maka salah satu lafal itu mencakup makna lafal lainnya. Contohnya adalah: Islam dan Iman. Jika keduanya disebutkan bersama, maka masing-masing memiliki makna tersendiri. Namun apabila keduanya disebutkan secara bersama dalam satu teks, maka Islam merujuk kepada amalan lahiriah, sedangkan iman merujuk pada amalan batiniah.

Thayyib, lalu apa itu ihsan? Secara etimologi, ihsan adalah merealisasikan kebaikan, yang merupakan antonim dari isa-ah (merealisasikan keburukan).

Dalam hadis dimaksud, ihsan dibagi lagi menjadi dua tingkatan. Pertama, yang tertinggi, adalah musyahadah, seolah-olah menyaksikan Allah, dan kedua, di bawahnya adalah muraqabah, yaitu disaksikan oleh Allah. Inilah esensi pencatuman hadis tersebut dalam bab Muraqabah.

Sebagian ulama mendefinisikan muraqabah dengan:

استدامة علم العبد باطلاع الرب عليه فى جميع أحواله

“Keyakinan hamba bahwa Allah mengawasi dirinya dan setiap aktivitasnya.”

Seorang hamba meyakini bahwa Allah melihat dirinya, ibadahnya dan seluruh aktivitasnya. Bagian ini dapat dipahami dengan mudah. Namun, bagaimana maksud dari level musyahadah, bahwa seorang hamba beribadah hingga ia seolah-olah melihat Allah? Para ulama menjelaskan bahwa maksudnya adalah ia menghadirkan keagungan Allah dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya dalam qalbu, hingga ia merasakan kelezatan seolah-olah ia memandang-Nya. Hal ini sebagaimana hadis Hanzhalah:

كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم، فَذَكَّرَنا الجنة، والنار، حتى كأنا رَأْيَ العين

“Kami di sisi Rasulullah, lalu beliau menceritakan tentang Surga dan Neraka, hingga kami seolah-olah melihatnya dengan mata kami.” [HR Ibn Majah]

Di surga seorang hamba akan bertemu dan memandang Allah. Itu adalah puncak tertinggi dari kenikmatan dan kelezatan surga. Maka, seperti itu pula orang yang mencapai level musyahadah yang sejati, ia akan merasakan kelezatan dan kenikmatan yang luar biasa. Bahkan, itu adalah puncak kenikmatan yang ada di dunia, mengalahkan berbagai kenikmatan materi.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa tingkatan musyahadah itu lebih dekat dengan rasa harap (raghbah), seperti seorang yang sedang rindu kepada pasangannya atau seorang anak kepada ibunya, karena lama tak berjumpa, lalu ia pun seolah-olah sosok yang dicintainya tersebut; sementara tingkatan muraqabah itu lebih dekat dengan rasa takut (rahbah), seperti halnya seorang pesuruh yang merasa sedang diawasi oleh tuannya. Demikian kira-kira ilustrasinya berdasarkan pendapat sebagian ulama.

Dalam muraqabah, seorang hamba perlu menghadirkan bahwa yang sedang mengawasinya adalah Rabb yang Maha Baik, namun juga sekaligus Maha Keras hukumannya.

Tiap orang memiliki tingkatan muraqabah yang berbeda-beda. Namun kaidahnya adalah, semakin tinggi muraqabah maka semakin baik dan semakin produktif orang tersebut dalam menjalani kehidupan.

Ilustrasinya, bayangkan anda bekerja di perusahaan dengan pimpinan yang mengetahui seluruh aktivitas anda. Tidak ada yang luput dari pemantauannya. Pimpinan ini adalah sosok crazy rich, super kaya, yang dicintai karena ia sangat pemurah dan penyayang, meskipun ia juga adil serta sangat tegas. Apa yang akan anda lakukan? Anda tentu akan menjadi sangat produktif, bekerja dengan giat dan berhati-hati. Namun anda juga tenang, karena anda tahu bahwa pimpinan anda akan sangat support terhadap karir dan masa depan anda di perusahaan selama anda berperilaku baik dan melaksanakan tugas sebagaimana mestinya.

Demikianlah semestinya Allah Ta’ala lebih layak untuk diibadahi dengan cinta, harapan dan rasa takut.