Hadis ke-16:
وَعَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ الْوَلَاءِ، وَعَنْ هِبَتِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
16 (796). Juga dari Ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarang jual beli Wala dan/atau menghadiahkannya. [Muttafaq ‘alaih.]
Autentikasi Riwayat:
Hadis di atas adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2535, Muslim dalam Shahih-nya no. 1506, dan lain-lain.
Faidah dan Penjelasan Matan:
Hadis ini masih membahas tentang sebagian muamalah pada masa lalu, yang pada saat ini sudah tidak terjadi. Wala` yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang pernah yang dibahas pada penjelasan hadis terdahulu, yaitu hak untuk mendapatkan warisan secara ta’shib (mendapatkan sisa harta waris) bagi orang yang memerdekakan budak dari mantan budaknya.
Hak waris dengan Wala` adalah seperti halnya hak waris dengan nasab, yang tidak bisa dihilangkan, dan oleh karenanya Wala` tidak dapat dihibahkan maupun diperjualbelikan. Larangan di sini sifatnya pengharaman dan berlaku untuk seluruh jenis pemindahtanganan, yang tidak hanya terbatas pada jual beli dan hibah. Larangan ini muncul karena dahulu di masyarakat Arab, pada masa jahiliah, terjadi praktik jual-beli dan hibah untuk Wala`.
Para ulama klasik mengumpamakan kondisi budak itu mirip dengan ketiadaan, yang ia kemudian menjadi ada setelah dimerdekakan. Mirip dengan nasab, di mana seorang anak itu tadinya tiada, kemudian ayahnya menjadi sebab bagi keberadaan anak tersebut. Maka orang yang memerdekakan budak itu memiliki hak waris terhadap mantan budaknya, seperti halnya seorang ayah yang memiliki hak waris terhadap anaknya. [1]
Namun demikian, hak waris secara ta’shib dari hak Wala` tingkatannya lebih rendah dibandingkan ta’shib secara nasab. Jadi, kalau misalnya seorang mantan budak wafat meninggalkan anak laki-laki maka maula (orang yang membebaskan budak) tidak mendapatkan sisa harta waris, karena sisa harta waris tersebut diambil oleh anak laki-laki. Hal ini sebagaimana penjelasan pada hadis terdahulu.
Allahu a’lam.
Footnote:
[1] Lihat: Taudhih al-Ahkam, vol. IV, hlm. 264.