Hadis Jual-Beli, Hadis ke-18:
وَعَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Juga dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu), bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda: Siapa yang membeli makanan maka janganlah ia menjualnya sampai ia menerimanya (menguasainya).” [Riwayat Muslim]
Autentikasi Riwayat:
Hadis di atas adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya[1] dan lain-lain.
Baca Juga : Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (017) – Larangan Jual-Beli dengan Cara Melempar Batu dan Gharar
Faidah dan Penjelasan Hadis Jual Beli:
Kata “yaktalahu” (iktiyal) itu semakna dengan kata qabdh dan istifa` yang disebutkan dalam riwayat yang lain,[2] yaitu objek sudah terpindahkan dari penjual ke dalam genggaman pembeli.
Hadis tersebut menunjukkan larangan untuk menjual kembali makanan sebelum ia menerima dan menguasainya.
Di dalam sejumlah hadis lain terdapat perintah yang lebih umum, tidak hanya terkait tentang makanan, melainkan mencakup semua objek yang diperjualbelikan.[3]
Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda,
إِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ
“Jika engkau membeli sesuatu maka janganlah menjualnya sebelum engkau menguasainya.”[4]
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait masalah larangan menjual barang sebelum qabdh:
- Imam asy-Syafi’i memberlakukan larangan secara umum, mencakup seluruh objek jual-beli. Ash-Shan’ani menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama dan sekaligus menguatkannya.
- ‘Utsman at-Taimi berpendapat sebaliknya, membolehkannya secara umum. Ibn ‘Abdil Barr menilai pendapat ini tertolak dengan Sunnah.
- Imam Abu Hanifah mengkhususkan larangan tersebut untuk hal-hal yang memang dapat dipindahkan (manqul), sehingga tidak berlaku untuk bangunan dan benda yang tidak dapat dipindahkan.
- Sebagian ulama memberlakukan larangan untuk seluruh yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat) secara umum.
- Imam Malik memberlakukan larangan untuk seluruh yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat) yang berbentuk makanan.[5]
Praktik dari hadis dimaksud, sebagaimana dijelaskan oleh ash-Shan’ani, jika seorang membeli makanan dengan takaran tertentu, kemudian ia ingin menjualnya, maka ia tidak boleh sekadar berpatokan pada takaran ketika ia membeli. Ia harus melakukan penakaran ulang ketika menjualnya kembali. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam penakaran.
Sebagian ulama, di antaranya Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim, menjelaskan bahwa ‘illat (sebab) larangan penjualan barang sebelum qabdh adalah karena penjual yang belum menguasai barangnya berpotensi tidak mampu menyerahkan barang tersebut kepada pembeli selanjutnya.[6]
Allahu a’lam.
Baca Juga : Seri Hadis Jual-Beli dan Fikih Muamalah (016) – Larangan Jual-Beli dan Hibah terhadap Wala`
Footnote:
[1] No. 1528.
[2] Lihat ‘Umdah al-Qari, vol. XI, hlm. 242.
[3] Lihat: Subul as-Salam, vol. V, hlm. 44.
[4] HR ad-Daraquthni no. 2820, dan lain-lain, serta disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 342.
[5] Lihat: Subul as-Salam, vol. V, hlm. 44, dan ‘Umdah al-Qari, vol. XI, hlm. 242..
[6] Lihat: Taudhih al-Ahkam, vol. IV, hlm. 281.